Utuh tak Tersentuh
oleh:Adinda Aqmarina T (@adinkippon on Twitter)
Aku Mencintaimu
Utuh Tak Tersentuh. Kata-kata itu
kembali berputar di otak Salma, gadis SMA yang mencari jati diri. Dia sedikit
bingung dengan judul artikel yang sedang dia pegang.
“Bagaimana bisa mencintai tapi gak tersentuh?” ucap Salma
pada Nanda teman sebangkunya di 12 IPA 7.
“Jadi kalau cinta harus pegang-pegang, gitu?” jawab Nanda, menatap Salma sebentar lalu kembali membuka buku fisikanya.
“Bukan pegang-pegang juga Annisa Nanda..” Salma
mengibaskan tangannya, “maksudnya, gimana caranya orang yang kita suka bisa tau
kalau kita suka sama dia kalau deket aja enggak.”
“Kamu sebenarnya baca artikel itu gak, Sal? Jangan-jangan
cuma baca judulnya aja.” Nanda mengernyitkan dahinya, tanda heran. Salma hanya
nyengir kuda.
Tadi pagi Nanda memberikan artikel itu pada Salma, agar
Salma mengerti arti cinta yang selama ini dia tanyakan. Hampir setiap saat
Salma pergi ke perpustakaan sekolah untuk meminjam buku yang berkenaan tentang
cinta. Dan entah dari buku mana yang dia baca, Salma menyimpulkan bahwa cinta
adalah perasaaan yang bisa dilukiskan dan mudah dirasakan namun definisi cinta
itu sendiri terlalu sulit untuk dijelaskan.
Jika Salma ditanya “Apa arti cinta menurutmu?” maka Salma
akan menjawab, “Cinta itu ya cinta, kamu tak akan tau jika kamu belum
merasakannya.”
Bagi Nanda jawaban Salma sangat aneh, dan bisa membuat
Kahlil Gibran jatuh tersungkur bila mendengarnya.
***
Bel tanda pulang berdering. Salma masih saja kebingungan
dengan apa yang dia baca dari judul artikel itu.
“Nan, jelasin lagi dong. Maksudnya Aku Mencintaimu Utuh Tak Tersentuh itu apa?” Salma merajuk,
berharap temannya yang satu ini akan menjawab pertanyaannya dengan jelas tanpa
menyindirnya.
Belum sempat sepatah kata keluar dari bibir Nanda. Sosok
Banda terlihat dari balik daun jendela kelas. Banda tersenyum ke arah Salma
yang tengah serius memperhatikan Nanda.
“Salma, pacarmu datang tuh..!” kata Miftah. Salah satu
sahabat Banda sekaligus teman sekelas Salma.
“Yah..” Salma sedikit kecewa dengan kehadiran Banda yang
terlalu cepat itu. Padahal urusannya tentang judul artikel itu belum tuntas
samasekali.
“Nan, nanti kita lanjutin ya. Aku harap kamu bisa jawab
pertanyaan aku tadi dengan jelas dan tepat.” ucap Salma sambil menyampirkan tas
selempangnya di bahu kanan. Merapikan ciput dan kerudungnya yang terlihat
balapan. Kemudian tersenyum manis ke arah Banda yang terus menunggu nya dengan
sabar di depan kelas. Nanda menatap punggung Salma yang semakin menjauh, dia
menggelengkan kepala. Sampai kapan kau
pacaran Salma? Bukankah kau sudah belajar, dan mengerti mengapa pacaran itu tak
boleh. Batin Nanda.
Nanda dan Salma begitu berbeda. Nanda yang selalu rajin
datang ke seminar keagamaan sedangkan Salma hanya rajin ke mal tiap sore dan
pulang membawa berkantung-kantung tas belanjaan. Nanda yang selalu mengingatkan
Salma jika ada perbuatannya yang salah, Salma selalu berkata ‘maaf’ dan ‘iya
aku tak akan mengulanginya lagi’ dan kemudian lupa akan janjinya itu.
Namun perbedaan itu samasekali tak membuat mereka saling
membenci dan menghujat. Malah Nanda sangat senang memiliki teman seperti Salma,
yang dapat membuatnya tersenyum tiap kali merasa sedih.
***
Banda menghentikan laju motornya, sesampainya ia dan
Salma di Bakso Nano, salah satu tempat makan bakso paling enak di Purwakarta.
“Aku kira kita akan akan ke Bakso Veteran.” ujar Salma
sambil meletakan helm ungunya di kaca spion motor.
“Disini juga gak kalah enak kok. Ada warung salju pula
didepannya. Kamu bisa pesan Es Salju kalau kamu mau.” jawab Banda lalu tersenyum
ke arah gadis manis itu.
Setelah mendapatkan tempat duduk dan memesan bakso,
mereka berdua hanya terdiam. Bingung dengan apa yang akan mereka bicarakan.
“Oh iya! 2 hari lagi kita 2 bulan pacaran ya!” ucap
Salma, memecah kekakuan.
Banda mengangguk, “iya, kamu seneng banget ya kita udah
pacaran hampir 2 bulan?”
Salma tersipu malu, pipinya berubah kemerahan, kemudian
mengangguk, sehingga membuat ujung kerudungnya bergoyang. Senyum Banda yang
sedaritadi singgah di bibirnya semakin mengembang, melihat tingkah gadis yang
dipuja nya malu-malu. Dia senang bahwa dia tidak salah memilih gadis yang satu
ini. Selain terlihat manis, Salma tampak menarik di matanya.
***
“Nan, kamu sudah belajar?” tanya Bu Aminah, ibunda dari
Nanda.
“Sudah Ummi. Ada apa?” tanya Nanda heran melihat ekspresi
wajah Bu Aminah yang tidak biasa. Bu Aminah terlihat khawatir akan sesuatu.
“Ummi ingin tanya sama kamu nak..” Bu Aminah menghela
nafas sebelum mengucapkan kata-kata yang terlalu berat baginya untuk ditanyakan
pada Nanda. Anak gadis satu-satunya yang ia percaya.
“Nak, kamu..tidak pacaran ‘kan?” tanya Bu Aminah, menatap
Nanda dengan matanya yang sayu.
Nanda tertegun, sangat aneh baginya jika Bu Aminah
menanyakan hal seperti itu, karena ia yakin bahwa Bu Aminah tau ia tak pernah
sekalipun berdekatan lama-lama dengan lelaki yang bukan muhrimnya.
“Tidak Ummi. Nanda samasekali tidak pacaran.” jawab Nanda,
dan itu sedikit membuat hati Bu Aminah merasa lega.
“Nak, kau tau ‘kan mengapa Ummi melarangmu untuk
berpacaran?” tanya Bu Aminah lagi.
Nanda mengangguk pelan seraya menjawab, “tau Ummi, karena
dalam ajaran Islam, Rasulullah melarang kita untuk mendekati zina, dan pacaran
itu banyak yang dilandaskan karena nafsu. Nanda pun tak mau mendekati zina
Ummi. Nanda tak mau mengecewakan Ummi yang sudah mengajarkan Nanda banyak hal mengenai
hal baik dan buruk. Dan Nanda pun sudah dewasa, sudah bisa membedakan yang
terbaik untuk Nanda dan hal yang tak seharusnya Nanda lakukan.” jawab Nanda
sambil tersenyum agar membuat ibundanya merasa lebih tenang.
Bu Aminah balas tersenyum menatap anaknya yang telah
beranjak dewasa dengan matanya yang mulai tak berfungsi dengan baik. “Ummi
bersyukur bahwa kau mengerti, Nak.”
Nanda berjalan ke arah Bu Aminah yang masih mematung
disampingnya, kemudian memeluk tubuh yang sudah bungkuk itu. “Insya Alloh, Nanda
akan selalu ingat nasihat Ummi sampai akhir hayat Nanda.” Pandangan Nanda
menjadi buram, karena airmata yang tertahan dipelupuk matanya. Dia terus
memeluk ibunya yang semakin menua. Rambut Bu Aminah yang dulu hitam, mulai
memutih. Kulit Bu Aminah yang tadinya mulus, menjadi keriput. Tak ingin
sekalipun Nanda mengecewakan dan membuat sedih ibunya yang telah merawatnya
sendirian sejak dia kecil. Sosok Ayah, hanya Nanda kenal lewat secarik foto
yang dibingkai dan dipajang di kamarnya.
***
Wajah Salma terlihat pucat. Nanda sedikit aneh dengan
sikap temannya ini, tidak biasanya dia terdiam dan melamun pagi-pagi begini.
“Salma..Salma…” panggil Nanda, namun Salma tak juga
menyahut, dia malah terus terdiam dan sorot matanya terlihat sedih. Akhirnya
setelah Nanda mengguncang-guncang bahu Salma, Salma menoleh ke arahnya.
“Kamu sakit? Wajahmu pucat pasi begitu..” Nanda
benar-benar khawatir jika Salma sakit.
Salma hanya menatap Nanda, lalu mulai menangis tersedu.
Untunglah kelas masih sepi, hanya ada Miftah yang sedang membaca buku. Nanda
menepuk-nepuk punggung Salma yang berguncang karena menangis. Nanda kebingungan
juga, apa yang harus dilakukannya untuk Salma. Tidak pernah ia menghadapi Salma
dalam keadaan seperti ini.
“Aku benci dia Nan..” ucap Salma, tubuhnya masih
berguncang, mencoba menahan airmatanya yang terus mengalir tanpa kendali.
“Aku benar-benar benci Banda…!” teriak Salma. Dan itu
membuat Miftah terkejut lalu menoleh ke arah Nanda dan Salma.
“Aku tak percaya dia akan melakukan hal itu padaku,
Nan.” tangis Salma yang tadi dia tahan kini pecah membanjiri pipi dan dagunya.
Tak ayal, kerudung Nanda terkena airmata Salma.
“Nih tissue..” tiba-tiba
Miftah muncul dihadapan mereka, menyodorkan tissue
pada Salma kemudian pergi. Mendengarkan curhatan orang lain bukan urusan penting
baginya.
“Sudah, jangan dijelaskan terlalu jauh Salma. Semakin
kamu bercerita banyak semakin kencang tangisan kamu.” Nanda mengelus bahu Salma.
Salma mulai menenangkan dirinya, dan menghapus airmatanya
dengan tissue. Perlahan Salma mulai
tenang. Dan menyunggingkan senyum pada Nanda.
“Maaf ya, Nan. Kamu pasti kaget lihat sikap aku yang
mendadak itu..” ucap Salma dengan nada bergetar.
Sambil balas tersenyum, Nanda membetulkan posisi kerudung
Salma yang sudah tak beraturan. "Kamu pakai kerudungnya sambil memejamkan mata
ya? Acak-acakan loh..” ujar Nanda, mencoba untuk menghibur temannya ini. Salma
hanya terkekeh.
Murid 12 IPA 5 sudah mulai berdatangan. Masuk ke kelas dan
duduk di tempat masing-masing. Suasana menjadi ramai.
“Oh ya, kamu belum jawab pertanyaan aku loh Nan. Aku Mencintaimu Utuh Tak Tersentuh itu
apa?” Salma bersungut-sungut.
Nanda menunjukkan giginya yang berjejer rapi dimulutnya.
Lalu menjawab dengan senyumnya yang cerah, secerah pagi ini, “jika kamu membaca
artikel itu dengan teliti. Kamu akan menemukan arti cinta yang kau sama sekali
ini kau ragukan makna sebenarnya. Cinta suci dan murni itu ada, Salma. Ah, lebih
baik memang kau baca sendiri artikelnya. Agar kamu mengerti dengan caramu
sendiri.”
Salma mengangguk, kemudian merogoh laci mejanya. “Loh,
artikelnya kok gak ada ya?” Salma terheran. Dia ingat sekali, sesaat sebelum
Banda menunggunya di depan kelas. Ia meletakkan artikel itu di laci mejanya.
“Hilang ya?”Nanda tertawa. Salma memang ceroboh, dia
selalu saja absent-minded. Lupa akan
apa yang dia lakukan sebelumnya. “Waktu itu kau simpan di atas mejamu.”
***
Nanda dan Salma baru saja shalat dhuha. Setelah melihat
Ibu Rahma, guru fikih di SMA mereka, Salma langsung menghambur menghampiri
beliau. Salma ingin bercerita tentang kejadian yang dia alami kemarin, dan
meminta saran dari Ibu Rahma.
“Nanda.” sosok Miftah muncul dari balik punggung Nanda.
Mengagetkan Nanda yang sedang mengikat tali sepatunya.
“Ada apa Miftah? Jangan bilang kamu mau minta aku untuk
bikin artikel di madingmu itu. ”Nanda nyengir. Biasanya jika Miftah datang tiba-tiba,
Miftah akan meminta Nanda mengisi bagian mading mushola sekolah yang kosong
dengan artikel buatan Nanda atau sekedar hiasan.
“Tentu saja bukan.” Miftah mengibaskan tangannya. Lalu
menekan pecinya yang terlalu kecil untuk ukuran kepalanya. “Sebenarnya aku mau
minta maaf nih. Tanpa seizin kamu. Aku menempelkan artikel kamu di mading
mushola. Alhasil artikel kamu dikerubung para primus (pria mushola) sekarang
ini, karena judulnya yang bikin penasaran.”
“Artikel yang mana?” Nanda mengernyitkan dahinya.
Seingatnya dia belum membuat artikel satu pun.
“Itu loh, yang judulnya Aku Mencintaimu Utuh Tak Tersentuh.” ucap Miftah dan membuat lambang
hati dengan tangannya dibagian ‘mencintai’.
Nanda tersenyum melihat lagak si PJ mading yang satu itu.
Merasa aneh juga dengan tingkah PJ yang seperti orang aneh. “Itu bukan artikel
buatanku, Miftah. Aku tak sengaja membaca notes
salah satu grup di facebook, dan aku
menemukan artikel itu. Karena artikelnya sangat bagus, jadi aku salin di
kertas. Sebenarnya artikel itu untuk Salma.” jelas Nanda.
Miftah menundukan kepalanya, kemudian ekspresi nya
berubah, seperti sedang mengingat suatu kejadian di otaknya. “Salma ya..”
Nanda bertepuk satu kali, membangunkan Miftah dari
lamunannya. “Ada apa?” tanya Nanda heran.
“Sebenarnya kemarin aku melihat Salma dan Banda di taman
kota. Saat itu Banda benar-benar lepas kendali.”ucapan Miftah membuat Nanda
semakin heran. Nanda terus memperhatikan Miftah, dia ingin tau kelanjutannya.
“Kemarin sore aku sedang membantu Bapak ku berjualan di
taman kota. Aku juga melihat Ibu mu yang sedang berjualan..”Miftah menghela
nafasnya. Kemudian merubah posisi duduknya. “Saat aku sedang berkeliling, aku
melihat Salma dan Banda tengah berduaan di dekat pohon yang paling rimbun. Dan
aku yakin dengan penglihatanku saat itu, Banda hendak mencium Salma. Salma
berontak. Banda terus saja menggenggam tangan Salma erat, agar dia tak kabur.
Salma terus dan terus memukulkan tangannya kea rah Banda. Akhirnya tangan Salma
bisa lepas dari genggaman Banda yang kuat. Saat itu aku langsung berlari ke
arah Banda, mendorongnya sampai tersungkur.”jelas Miftah panjang lebar dengan
pandangan serius. “Aku benar-benar marah padanya. Hampir melakukan hal yang tidak
senonoh pada seorang gadis belia. Setelah itu aku berlari mengejar Salma, yang
ternyata sudah ada dalam pelukan Ibumu Nanda.”
Nanda terbelalak. “Ummi?”ujar Nanda perlahan.
“Ibumu memeluk Salma yang menangis karena panik. Lalu
Ibumu juga lah yang mengantar Salma sampai ke rumah. Untunglah aku merasa
tenang ada yang menjaga Salma. Sebenarnya aku bingung juga, mana mungkin aku
harus memeluk Salma untuk menenangkannya.”Miftah mengelus bagian belakang
kepalanya sambil tersenyum.
Nanda terdiam dia baru tersadar, itulah yang membuat Bu
Aminah khawatir.
“Aku harap kamu bisa menjaga Salma sebagai temannya. Kamu
‘kan bisa mengajaknya ke seminar keagamaan yang sering kau ikuti.” saran Miftah.
Nanda tersenyum, “Iya, aku benar-benar akan menjaganya.”
“Nanda..!” Salma melambaikan tangan ke arah Nanda. Tanda
dia siap kembali ke kelas.
“Makasih ya Miftah. Aku jadi mendapat pencerahan.” Ucap
Nanda, kemudian bangkit dari tempatnya duduk. Miftah mengangguk kecil, lalu
menunjukkan jari telunjuk kanannya ke atas, seraya berkata. “Golden Ways.”
Nanda menghampiri Salma dan tanpa basa-basi Salma
menggandeng tangan Nanda. “Barusan aku baca artikel itu. Ternyata ada di mading
mushola. Sampai botakpun kita ga akan nemu artikel itu di kelas.” Salma
tertawa-tawa sendiri.
“Nanda.. Makasih ya. Setelah baca artikel itu aku jadi
yakin. Kalau cinta suci yang tak tersentuh itu ada. Dan aku ingin perasaan aku
dipingit dengan indah seperti itu.” Salma tersenyum. Wajah manis nya tampak
lagi. Ya, Nanda lebih suka wajah temannya itu saat sedang tersenyum.
Salma menghentikan langkahnya, kemudian berucap. “Jodoh dan kematian adalah rahasia-Nya yang
tersenyumbunyi dalam tabir kegahiban-Nya, dan tersimpan dengan indah dalam tiap
lembar daun di Lauhul Mahfuzh. Ku tanya padamu, pernahkah kau jatuh cinta? Ku
akui aku pun juga..tapi tak pantas bagi kita mengumbar rasa itu..Rasa yang
entah akan berlabuh dimana. Lalu pikirkan, jika dia yang kau cinta, yang
mengganggu tidurmu, membuatmu menangis karena rindu, ternyata bukan atau
mungkin tak akan pernah menjadi pendampingmu, atau bukan yang kau pilih?”
“Sampai hafal potongan tulisannya..” Nanda tersenyum
kemudian melanjutkan potongan kalimat, “Dan
ku katakana padamu, mungkin kau yang akan memilihku belum ku cinta saat itu.
Tapi, ketahuilah, karena kau memilihku, kau ku cinta. Ketika itu akan terjadi,
semua telah terangkai dengan indah dalam kerangka kehalalan. Dan tak akan
pernah ada ragu kukatakan aku serahkan cintaku Utuh Tak Tersentuh padamu..ya,
hanya padamu.”
Kembali lagi kedua sahabat itu melangkah pasti.
Beriringan berdua. Semoga Alloh
merahmati di setiap langkah kita semua. Aamiin.