Kuas-kuas Biasa
oleh: Shyfa Nurasiyah (@shyfanurfa on Twitter)
Kau adalah kau
Dengan segala kelebihan
Kau tetaplah kau
Dengan berbagai kekurangan
Kau masihlah kau
Kau adalah kau
Berbeda dengan yang lain
Tak ada yang menyamai
Karena itulah
Kau istimewa
***
Shilla duduk
termangu di teras sempit rumahnya, mendudukan tubuhnya di atas bangku anyaman
bambu yang sudah tampak usang. Bangku itu berkali-kali berderit tertahan setiap
kali gadis itu beringsut sedikit.
Suasana malam itu
hening. Sepi dan tenang. Jalanan sempit di depan rumahnya yang tak beraspal itu
kosong, tak ada yang menapaki. Angin malam sesekali membelai tubuhnya,
menyentuh kulitnya dengan dingin, membuat gadis itu berulang kali menggosokkan
kedua telapak tangannya lalu menempelkannya ke leher atau ke pipinya. Tak hanya
sekali, jangkrik-jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan dengan berani
bersuara, menyayat anak-anak angin malam, mengusik ketenangan malam yang begitu
syahdu. Sesekali, gelombang suara burung hantu yang entah bertengger di mana
ikut menganggu ketenangan malam itu. Sebuah kolaborasi dari alam yang
mengesankan, pikirnya. Betapa hebatnya Tuhan, pujinya. Malam yang dirajai warna
hitam pun bisa menorehkan kesan.
Masih dengan
termangu-mangu, ia kemudian menyibukkan diri untuk memikirkan segala sesuatunya
tentang hari esok. Tak pelak lagi, rasa resah makin berkecamuk dalam dirinya.
Ia merasa gelisah. Gadis dengan rambut panjang hitam yang tergerai itu kemudian
menghembuskan nafas panjang. Berharap itu bisa meredakan kegelisahannya, ia
lalu menendang-nendang udara kosong di sekitar kakinya. Beberapa detik
kemudian, ia mendesah putus asa. Sama sekali tidak membantu, simpulnya.
Gadis dalam
balutan pakaian tidur sederhana itu lantas mendongak menatap langit malam
yang dipoles dengan warna hitam yang pekat. Ada banyak bintang yang memernik
langit malam yang tak berbingkai itu, berkelap-kelip begitu hidup. Sebuah
rembulan yang dilukis dengan warna kekuningan bersinar dengan sayu. Sungguh
sebuah lukisan mahakarya tanpa cela dari Sang Pencipta, ia terkagum-kagum.
Shilla mendesah
berat. Kepalanya masih terdongak. Malam kian larut, namun rasa kantuk tak urung
menyerangnya. Ia sebenarnya ingin segera merasa kantuk, sebab ia berpikir
begitu ia terlelap, rasa resah yang tengah menguar dalam tubuhnya pasti akan
ikut terlelap. Namun apa dayanya. Keresahan yang membalut dirinya justru
mengusir rasa kantuk itu jauh-jauh. Keresahan tentang hari esok membuatnya
masih terjaga sementara jarum pendek jam dinding telah berada di sekitar angka
11.
Sekali lagi, ia
mendesah. Bersamaan dengan saat di mana suara jangkrik menggaungkan diri untuk
kesekian kalinya, Shilla terpikir untuk menghitung jumlah bintang yang bertahta
gemerlap di atas sana. Mungkin dengan begitu, ia bisa segera merasa kantuk.
Gadis itu mengangkat bahunya dan memiringkan sedikit kepalanya. Tidak ada
salahnya mencoba. Dan di saat ia baru akan memulai menghitung, suara decitan
pintu memaksanya untuk menoleh menatap ke arah pintu rumahnya.
Kedua mata Shilla
menangkap ada seorang pria yang kemudian melangkah ke luar dari balik pintu itu
lantas berjalan ke arahnya. Dalam hitungan detik, pria dengan kenaan kaos putih
longgar dan celana pendek yang terlihat kusam itu telah duduk bersampingan
dengan dirinya.
“Kenapa belum
tidur?” tanya pria itu membuka obrolan. Setelahnya, ia menguap lebar-lebar
tanpa suara.
“Belum kantuk,
Kak,” jawab Shilla. Ia lalu memutar kepalanya untuk memandang lurus ke depan.
“Kak Rio sendiri kenapa belum tidur?” tanyanya tanpa menoleh.
Rio
menggaruk-garuk belakang kepalanya yang terasa sedikit gatal. “Tadi sudah
sempat tidur, tapi terbangun. Sewaktu kakak ingin pergi ke dapur untuk minum,
Kakak melihat lampu teras masih menyala. Alih-alih ingin memadamkannya, Kakak
justru melangkah ke sini karena melihat bayanganmu,” terang Rio. Ia menurunkan
tangan kanannya tanpa merapikan rambut belakang kepalanya sehingga rambutnya
tampak sedikit berantakan.
Shilla mengangguk
mengerti. Ia melewatkan beberapa detik sebelum membuka mulutnya untuk bertanya,
“Kak, bagaimana kalau Shilla mengundurkan diri saja?”
Rio menoleh
menatap Shilla sambil mengangkat alis kanannya. “Mengundurkan diri?” tanya Rio
memastikan. Ia lantas berpikir, tak berselang lama, ia membuka mulutnya untuk
bertanya, “mengundurkan diri dari kompetisi melukis itu maksudmu?” Melihat
Shilla mengangguk, Rio melanjutkan, “jangan bodoh! Bukankah itu salah satu
jalan untuk mewujudkan cita-citamu untuk menjadi seorang pelukis
terkenal?”
Shilla mengehla
nafas dalam-dalam. “Aku minder, Kak,” aku Shilla dengan lemas.
“Minder? Karena?”
Rio bertanya.
“Mereka, di
Jakarta nanti pasti punya peralatan melukis yang bagus-bagus, yang mahal-mahal.
Sedangkan aku…” Shilla menggantungkan kalimatnya. Ia menyempatkan diri untuk
menarik nafas sebelum melanjutkan, “aku hanya punya peralatan melukis yang biasa-biasa
saja.” Shilla menunduk tak bersemangat.
Rio tersenyum
tipis lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia tahu apa yang adiknya
pikirkan. “Bagus atau tidaknya lukisanmu tidak sepenuhnya tergantung pada bagus
dan mahalnya kuas dan cat yang kaugunakan, tetapi itu lebih tergantung pada
seberapa besar kau mencintai apa yang kaulukis,” ujar Rio dengan tenang. “Meski
Kakak bukan pelukis dan tak berbakat untuk melukis, namun Kakak percaya, tanpa
cinta, lukisan takkan berasa.”
Shilla tercenung dalam
diam. Harus ia akui, apa yang baru saja diujarkan oleh kakaknya itu benar. Ia
benar-benar setuju. Apa pun yang kita kerjakan, baik-buruk hasilnya, itu
tergantung pada seberapa besar kita mencintai apa yang kita kerjakan. Lalu,
bakat dan kemampuan.
“Minder,” kata
Rio. “Hal yang umum dan dekat dengan kehidupan kita. Hal yang tampaknya sepele,
namun sebenarnya berdampak besar. Minder adalah penyakit yang dapat membutakan
kita. Membutakan kita untuk melihat seberapa istimewanya kita.
Sering kali, ketika
kita bertemu dengan seseorang yang memiliki rupa yang lebih sempurna daripada
kita, kita menjadi minder. Saat kita mengenal seseorang dengan harta yang lebih
melimpah daripada kita, kita kontan merasa sangat teramat miskin. Imbasnya,
kita menjadi minder.”
Shilla membungkam
mulutnya, diam. Ia tak bersuara karena ia tahu, kakaknya belum selesai
berbicara. Dan benar saja, sebab beberapa detik sesudahnya, Rio kembali
bersuara.
“Adalah hal yang
sangat manusiawi ketika kita memandang ke atas, kita menjadi iri. Celakanya
adalah ketika tanpa kita sadari, kita terlalu sering memandang ke atas, dan
akhirnya kita lupa bagaimana caranya bersyukur. Kita terlalu sering
membandingkan diri kita dengan orang lain yang lebih cantik, lebih tampan,
lebih kaya dan lebih-lebih yang lain, sehingga kita akan sering mengeluh.
Mengeluh kenapa kita tak secantik mereka. Mengeluh kenapa kita tak setampan
mereka. Mengeluh kenapa kita tak sekaya mereka. Pada akhirnya, kita jadi
terlalu sering mengeluh sampai-sampai kita lupa untuk bersyukur. Ironisnya,
justru ada dari antara kita yang menganggap mengeluh itu bukanlah masalah. Ada
dari antara kita yang malah menganggap mengeluh adalah hal yang wajar karena
satu alasan. Karena manusia memiliki kekurangan. Namun satu yang perlu kita
cetak tebalkan bahwa kekurangan pada dasarnya bukanlah hal yang patut dan
sepantasnya untuk dikeluhkan. Sebab sesungguhnya, kita punya segudang kelebihan
yang bisa kita syukuri jika kita mau menundukkan kepala dan memandang ke bawah.
Kita sering kali tidak menyadari kalau sebenarnya kita punya lebih banyak
alasan untuk bersyukur daripada untuk mengeluh.
Kakak ingin
mengatakan kepadamu, jangan pernah mendongak ke atas jika kau ingin belajar
bersyukur. Dongakkan kepalamu ke atas hanya ketika kau ingin memotivasi diri.”
Rio berhenti
berceloteh. Ia menggerakan tangannya untuk mengurut tengkuknya yang terasa
menegang lalu menggerakpatahkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
“Tapi, Kak,
peserta yang lain pasti sangat berbakat,” ujar Shilla, merasa tak yakin kepada
dirinya sendiri.
Rio menatap
adiknya dengan tatapan tak mengerti. “Lantas kau kira kau tak berbakat?”
tanyanya. “Kalau kau lupa, kau telah memenangkan kompetisi melukis se-Sumatera
Utara. Kau dipilih untuk mewakili provinsi Sumatera Utara karena bakatmu,” Rio
menekankan dengan halus.
Karena melihat
Shilla masih meragu, Rio memutuskan untuk mulai menuturkan, “Manusia diciptakan
oleh Tuhan dilengkapi dengan lentera yang disebut talenta. Dalam kegelapan,
lentera dipakai untuk menunjukkan jalan agar kita tidak salah melangkah. Begitu
pulalah dengan talenta. Talenta diberikan oleh Tuhan agar kita tahu kemana
jalan hidup kita, agar kita tahu apa tujuan dari penciptaan kita. Namun yang
sering terjadi, kita sering menghabiskan banyak waktu untuk mengagumi cahaya
dari lentera orang lain sehingga kita tidak sadar kalau kita juga punya lentera
yang pantas untuk dikagumi.
Kita sering
merasa kalau kita bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan orang lain. Kita
sering memandang rendah diri kita sendiri, seperti yang kau alami sekatang. Kau
meremehkan dirimu sendiri sama seperti kau memandang rendah peralatan
melukismu—kau mengatakan kalau peralatan melukismu biasaa-biasa saja. Namun
sadarkah kau, apa yang telah kuas-kuas biasa itu lakukan? Mereka telah
melahirkan lukisan-lukisan indah yang sanggup membuatmu memenangkan berbagai
kompetisi. Lihatlah, tak semua yang kita anggap biasa hanya bisa melakukan
hal-hal yang biasa. Percayalah, kau pun begitu. Dengan talenta pemberian Tuhan,
percayalah kalau dirimu yang kauanggap biasa-biasa saja mampu melakukan
perkara-perkara besar yang tak pernah kaupikirkan. Percayalah kalau kau jauh
lebih luar biasa daripada yang kaubayangkan. Percayalah bahwa kau tercipta
untuk satu tujuan dan hanya kaulah yang dapat menggenapi tujuan itu dengan
talenta yang kaubawa.
Tak ada salahnya
mengagumi diri sendiri. Mengagumi diri sendiri tak lantas mengharuskanmu untuk
mengangkuhkan diri. Sikapilah dengan bijak, maka kau akan melihat bahwa
mengagumi diri sendiri mampu menjadi motivasi yang besar.”
“Bagaimana jika
ketika kita tengah berusaha membangun diri, ada seseorang atau lebih yang
justru memandang rendah kita?” tanya Shilla menuntut penjelasan.
“Orang lain bisa
saja memandang rendah dirimu, menganggapmu tidak berharga, menganggapmu
bukanlah apa-apa. Namun yang harus selalu kauingat, di saat mungkin semua mata
di dunia memandang rendah dirimu, masih ada sepasang mata yang memandangmu
sebagai pribadi yang berharga dan istimewa. Sepasang mata milik Tuhan. Orang
lain bisa saja gagal. Gagal melihatmu sebagai pribadi yang berharga dan
istimewa. Namun, ada sosok yang tidak pernah gagal melihatmu sebagai pribadi
yang berharga dan istimewa. Dialah Tuhan.
Kuberi tahu
alasan kenapa kau berharga dan istimewa. Tuhan menciptakan begitu banyak
manusia di dunia. Tuhan menciptakan mereka dalam berbagai rupa dan sifat.
Namun, satu yang harus kau tahu, dari dulu dan sampai seterusnya, percayalah
bahwa tidak ada satu pun pribadi yang menyamai dirimu. Dari dulu dan sampai
seterusnya, di dunia ini, kau hanyalah satu. Kau adalah pribadi yang unik,
tidak ada yang menyamai. Oleh karena itulah, kau berharga dan istimewa.
Kakak ingin
bertanya, apakah kau percaya kalau semua karya Tuhan adalah luar biasa?”
Shilla mengangguk
dua kali sembari berujar, “tentu.”
“Lantas kenapa
kau masih memandang rendah dirimu? Ketahuilah, memandang rendah dirimu sama
saja dengan memandang rendah karya Tuhan,” jelas Rio dengan tenang.
Shilla termenung,
benar-benar tertohok. Semua yang dikatakan oleh kakaknya itu benar. Tak
seharusnya ia memandang rendah dirinya. Ia hanya ada satu di dunia ini, dan
seharusnya ia bangga akan hal itu. Ia lalu tersenyum lebar dan menepuk pundak
kakaknya dua kali. Ada api semangat dan percaya diri yang mulai menyulutkan diri.
“Sebaiknya Kakak
tidur sekarang. Kakak kan harus mengantarkanku ke bandara besok,” saran Shilla
lalu menyengir lebar.
Rio mengulas
senyum. “Kau harus membawa pulang trofi sebagai imbalan atas jasaku besok,”
sahut Rio.
Shilla
mengacungkan ibu jarinya dengan yakin. “Pasti.”
Rio terkekeh
singkat lalu menyentil kening adiknya dengan pelan. Ia lalu bangkit dari
duduknya. “Ayo, istirahat. Sudah larut malam,” ajaknya lalu melangkah menuju
pintu.
Shilla mengangguk
dengan cepat, bangkit dan mengekori kakaknya. Dalam hati, ia bergumam,
‘kuas-kuas yang tampaknya biasa akan menjadi luar biasa, tergantung siapa yang
menggunakannya. Dan aku percaya kalau diriku luar biasa karena Tuhan tengah
menggunakanku.’
Selesai
***
image from: didon-gallery.blogspot.com