Tidak Ada yang Salah Dengan Kasih
Sayang, Cinta, dan Coklat
Valentine’s Day atau Hari Kasih Sayang adalah perayaan yang
berasal dari dataran Eropa yang diperingati setiap tanggal 14 Pebruari.
Peringatan ini merunut pada kejadian di abad ke-3 Masehi ketika seorang pendeta Nasrani bernama Valentinus yang dihukum mati karena menikah dengan seseorang yang ia cintai. Valentinus melanggar peraturan pada
masa itu yang melarang prajurit negara untuk menikah. Dari kejadian tersebut, hari Valentine kemudian diperingati dengan
memberikan hadiah sebagai tanda kasih sayang kepada pasangan. Pada masa modern,
Valentine’s Day kemudian diperingati bahkan menyebar ke seluruh dunia, termasuk
ke negara dunia ketiga seperti Indonesia.
Perayaan Valentine’s Day di Indonesia banyak menuai
kontroversi. Ada pihak yang pro sementara banyak pula yang kontra. Mereka yang
pro beranggapan bahwa Valentine’s Day adalah adalah hari kasih sayang yang
sudah umum diperingati, maka merekapun turut memperingatinya dengan cara mereka
sendiri. Hal ini mungkin sebagai dampak alih budaya yang turut serta dalam era
globalisasi seperti saat ini. Meski perayaan Valentine’s Day di Indonesia
mungkin tidak sebesar seperti di negara lain, remaja di Indonesia merayakan Valentine’s
Day dengan saling memberi hadiah berupa coklat atau bunga, khususnya bagi
mereka yang memiliki pasangan.
Mereka yang kontra beranggapan bahwa tidak sepatutnya Valentine’s
Day dirayakan. Ada beragam alasan yang dilontarkan, dari mulai alasan paling
klise yang menyatakan hari kasih sayang tidak hanya di hari Valentine, sampai alasan
kontra yang lebih mirip kepada sikap skeptis karena dirinya tidak memiliki seseorang
untuk berbagi di Hari Valentine.
Sikap kontra terhadap Valentine’s Day menjadi serius karena
beberapa alasan tersebut menyangkut aspek religius. Contohnya adalah anggapan kaum
Muslim yang menyatakan bahwa Valentine’s Day adalah perayaan kaum agama lain
yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, bahkan beberapa organisasi
keagamaan melarang dan menyatakan haram terhadap perayaan Valentine’s Day.
Mereka beranggapan Valentine’s Day dapat menyebabkan perilaku zina yang
dilarang oleh agama. Hal ini didasari oleh penelitian yang menyatakan pada Valentine’s
Day terjadi peningkatan penjualan alat kontrasepsi hingga 88%.
Tentu saja orang-orang -- termasuk saya -- berhak memiliki
pandangannya sendiri terhadap Valentine’s Day, itu bergantung dari sisi mana
mereka menilai Valentine’s Day. Saya sendiri lebih suka memandang sesuatu
dengan melihat esensi hal tersebut daripada memandangnya kemudian menghakiminya
hanya dari bentuk, kemasan ataupun opini orang lain terhadap suatu hal.
Sebagai seorang muslim dan tidak memiliki pasangan, saya
tidak memiliki alasan untuk merayakan Valentine’s Day. Tapi bagi saya, Valentine’s
Day bukanlah sebuah hal yang harus dipermasalahkan.
Pada hakikatnya, Valentine’s Day adalah peringatan tentang
bagaimana seseorang yang melawan otoritas yang melarangnya untuk menjalankan
sesuatu yang sebenarnya adalah hak seluruh manusia: mencintai seseorang. Dari
hal tersebut diambil nilai-nilai kasih sayang yang dianggap tidak boleh hilang.
Jika demikian, lantas apa yang salah dengan hal itu? Bagaimanapun kasih sayang
dan cinta jauh lebih baik daripada konflik dan peperangan. Bahwa Santo
Valentinus adalah seorang nasrani bukanlah pula sebuah masalah. Saya meyakini
bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan umatnya untuk saling mengasihi
alih-alih berkonflik. Menurut saya, cinta dan kasih sayang adalah naluri
alamiah yang dianugerahkan oleh Tuhan, siapapun Tuhan yang kita yakini.
Meski tidak merayakannya secara eksplisit, saya memandang Valentine’s
Day memiliki arti tersendiri. Saya memandang Valentine’s Day sebagai hari
dimana kita harus lebih peduli pada apapun dan siapapun. Valentine’s Day dapat
dijadikan hari dimana kita memperlakukan pasangan, orang tua, sahabat dan
siapapun dengan lebih baik. Tidak hanya itu, di Valentine’s Day kita juga dapat
belajar lebih mencintai apa yang kita lakukan.
Dengan mencintai apa yang kita lakukan, itu tidak hanya
berefek baik bagi diri kita, namun juga bagi orang lain. Contohnya begini,
sebagai seorang pelajar maka di Valentine’s Day saya akan lebih mencintai
subjek pelajaran yang saya pelajari, sehingga saya belajar dengan lebih giat. Jika
saya belajar lebih giat, maka prestasi akan diraih dan raihan prestasi tersebut
akan membanggakan bagi orang tua. Hubungan sebab akibat yang berawal dari
mencintai hal yang dilakukan tersebut akan terus berlanjut dan dapat pula berlaku
untuk hal lainnya.
Sebelum menghakimi saya sebagai seorang cowok kemayu yang
membela Valentine’s Day, saya juga memiliki opini lain tentang itu. Valentine’s
Day bisa menjadi sesuatu yang negatif tergantung kepada bagaimana kita
menjalaninya. Valentine’s Day adalah omong kosong besar jika ia diperingati
dengan sikap arogan dan membuang-buang uang dengan perayaan-perayaan yang tidak
bermanfaat. Apalagi jika Valentine’s Day dijadikan sebuah alasan untuk
membolehkan tindakan amoral seperti melakukan hubungan intim dengan seseorang
yang ilegal jika melakukan bersamanya. Jika itu dilakukan, maka Valentine’s Day
adalah sesuatu yang tidak memiliki manfaat, hanya membuang-buang waktu dan juga hanya mendatangkan kerugian.
Sampai di sini saya menarik kesimpulan, penilaian baik
buruknya perayaan Valentine’s Day bergantung kepada bagaimana kita memandang
hal tersebut. Begitu juga efeknya, bergantung bagaimana kita menjalaninya. Hal
ini enggak hanya berlaku bagi Valentine’s Day, tetapi juga hari-hari perayaan
lainnya. Jika kita melakukan hal baik, tentu akan bermanfaat. Sebaliknya, jika
hal buruk kita lakukan tentu saja hanya kerugian yang akan didapatkan. Sesimpel
seperti itu.
Tulisan ini belum tentu benar, jelas karena ini hanya opini
saya. Setuju atau tidaknya, tergantung dari sisi mana anda melihatnya. Jika
tidak setuju, silakan mendebatnya dengan membuat tulisan serupa. Namun yang
patut diketahui, tidak ada yang buruk dari cinta, kasih sayang dan dua batang
coklat pemberian sahabat di Hari Kasih Sayang. Hidup coklat!
***
Penulis adalah siswa SMAN 1 Purwakarta.