Balas Budi
Tidak ada yang lebih
nikmat daripada menikmati secangkir capuccino hangat disaat hujan deras seperti
ini. Hawa dingin yang menerpa diimbangi oleh hangatnya capuccino. Ya, itulah
yang sekarang dirasakan oleh seorang remaja tampan yang saat ini sedang duduk di
salah satu bangku kantin sekolah.
Dari arah timur,
terlihat seorang gadis tengah berjalan mendekati kantin, lebih tepatnya
menghampiri si remaja tampan. “Hey!” sapanya sembari menepuk bahu si remaja
tampan. “Disini kau rupanya.” lanjutnya. Dengan malas, si remaja tampan melirik
sekilas ke arah si gadis, berusaha menyampaikan bahwa ia sedang marah saat ini,
kemudian ia kembali menyeruput capuccino hangatnya.
“Hey! Ada apa
denganmu? Kau sakit ya?” tanya si gadis sembari menyentuhkan telapak tangan
kanannya pada dahi si remaja tampan, namun tangan si gadis segera ditepis oleh
si remaja tampan. “Kau ini kenapa? Kau marah padaku? Memangnya apa yang salah
denganku?” tanya si gadis dengan wajah bingung.
Si remaja tampan
meneguk capuccinonya sebelum kemudian berkata “Apa salahmu? Kau ini bodoh atau
pura-pura bodoh? Apa kau tidak menyadari dosamu? Kau sudah mempermalukanku!”
dengan nada membentak. Perasaan tenang yang tadi ia rasakan bersama secangkir
capuccino hangat kini telah menghilang, tergantikan oleh amarah yang memuncak
pada gadis di hadapannya. Hal itu membuat si gadis terdiam dengan wajah yang
ketakutan. Sesekali ia meneguk ludahnya sendiri, berharap rasa takutnya akan
berkurang dengan itu.
Si remaja tampan
berdiri kemudian mengeluarkan selembar kertas yang terlipat dari saku
celananya. Kertas itu kemudian ia banting di atas meja. “Untuk apa kau membuat
surat menjijikan seperti itu dengan mencantumkan namaku?” tanyanya dengan nada
yang menurun, namun masih dengan emosi yang sama.
“Aku... a...aku ini
sedang membantumu, Alvin.” ucap si gadis dengan kepala yang tertunduk dalam.
“Membantuku? Membantu
apa, Sivia?” tanya si remaja tampan yang ternya ta bernama Alvin dengan nada
yang mulai lembut. Diangkatnya dagu si gadis yang ternyata bernama Sivia itu
hingga wajah mereka saling berhadapan.
“Maaf” ucap Sivia
lirih.
“Hhh... Iya, aku
memaafkanmu. Sekarang, jelaskan padaku, apa maksudmu membuat surat seperti
ini?” pinta Alvin pelan sembari menunjukkan kertas tadi.
Sivia mendudukan
dirinya di bangku, diikuti dengan Alvin yang juga duduk dan mempersiapkan
telinganya untuk mendengar semua penjelasan Sivia.
“Aku hanya ingin
balas budi.”. Sivia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan kalimatnya.
“Selama ini kau selalu membantuku. Aku juga ingin membantumu. Karena itulah,
aku membuat surat cinta ini.”
“Tapi sejak kapan,
dan darimana kau tahu bahwa aku menyukai Ify?”
“Memangnya kau tidak
menyukai Ify?” tanya Sivia yang dijawab dengan gelengan oleh Alvin. Gelengan
itu membuat Sivia mengernyit, kemudian bertanya “Alvin, apakah kau masih
normal?”. Pertanyaan itu spontan disambut oleh Alvin dengan tatapan ingin
membunuh.
“Emm... maaf, maaf.
Maksudku begini, Ify itu kan, siswi paling cantik di sekolah ini, yang benar
saja kau tidak menyukainya.”
“Memangnya kenapa
kalau tidak menyukai Ify?”
“Yaa... tidak
apa-apa. Hanya aneh saja.”
Alvin tersenyum
sekilas, kemudian berkata “Ya itulah aku. Aneh. Terlalu lama berteman denganmu
ya jadinya begini.”
“Jadi kau tidak mau
berteman denganku lagi?” tanya Sivia berlagak merajuk, yang dijawab oleh
gelengan kepala Alvin. “Hah?” ucap Sivia spontan. “Kau pasti bercanda.”
“Aku serius.”
“Ayolah Alvin, jangan
marah. Ini kan hanya masalah kecil.”
“Siapa yang marah?”
“Lalu?”
“Aku tidak mau
menjadi temanmu lagi, karena...”. Alvin berdehem kemudian berbisik di telinga
Sivia “Aku mau menjadi pacarmu.”. Spontan mata Sivia langsung terbelalak.
Bisikkan itu benar-benar membuatnya terkejut, namun tak bisa dipungkiri, ada
rasa bahagia yang sulit sekali diutarakan yang menyertai keterkejutannya itu.
“Bagaimana, Sivia?
Aku sudah menawarkan cara balas budi paling mudah, bukan? Jadi apa jawabanmu?”
tanya Alvin. Tatapan penuh arti yang terpancar dari mata elangnya, ia lemparkan
untuk Sivia. Membuat pipi Sivia memanas. Tak ingin Alvin menyadari hal itu,
Sivia segera menghindari wajahnya dari tatapan Alvin. Namun Alvin terlalu tangkas.
Dengan sigap, tangannya menahan wajah Sivia.
“Aku anggap, ekspresi
wajahmu yang lucu ini sebagai jawaban ‘ya’.” ucap Alvin seenaknya, ditambah
dengan cubitan gemas yang ia lakukan pada hidung Sivia.