Adzan subuh terdengar, Udin yang sebelumnya sudah terbangun langsung menuju masjid untuk melaksanakan ibadah shalat subuh sedangkan sang ibu, Neni, melaksanakan shalat subuh disudut rumahnya yang mirip gubuk. Sesudah Udin melaksanakan shalat, seperti biasanya dia selalu berdoa. Meskipun dia orang miskin, tetapi dia tidak berdoa untuk menjadi kaya melainkan berdoa untuk bisa bertemu ayahnya yang telah meninggal saat sebulan sebelum dia lahir yaitu 7 tahun yang lalu.
(Tok tok tok, bunyi pintu diketuk) sang
ibu melihat Udin menangis, lantas sang ibu langsung memeluknya dan membawanya
masuk kedalam rumah. “Apa yang kamu tangisi?” tanya ibu, tetapi Udin hanya
menggeleng, dia takut dimarahi oleh ibunya. Ibunya telah berulang kali
menasihati Udin bahwa ayahnya tidak akan pernah kembali lagi tetapi Udin tidak
kunjung mengerti, sehingga Udin tidak berani untuk mengakuinya. Udin kembali ke
kamarnya untuk mengaji hingga pagi datang.
“Udiinnn!!!!
Bantu mamah di dapur!” seru ibu terdengar hingga diluar rumah, Udin yang sedang
memotong kayu pun langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Ternyata ibu sedang
memasak makanan kesukaan Udin, ayam goreng. Ya, walaupun hanya sepotong paha
ayam untuk dimakan. “Udin, bantu mamah buat masak nasi ya, mamah mau masak
dulu” perintah ibu kepada Udin, tanpa pikir panjang Udin langsung
melaksanakannya dengan penuh semangat. Setelah selesai melaksanakannya, Udin
kembali memotong kayu untuk dia jual kepada pedagang surabi.
Harum
ayam goreng sudah tercium oleh hidung Udin, dia pun langsung menuju meja makan
untuk menyantapnya. Sang ibu dengan wajah penuh senyum menyambutnya, saat
tudung makanan dibuka, Udin hanya melihat sepotong paha ayam dan beberapa iris
tempe. “Mah, ayok makan” seru Udin. “Gak apa nak, kamu makan saja, habisin ya!”
jawab ibu. Udin tidak tega karena ibunya sebentar lagi harus bekerja
menggembala kambing milik juragan, Udin pun membagi sepotong paha ayam tersebut
menjadi 2 dan membagi beberapa iris tempe, “Mah, makanlah dulu supaya mamah
semangat bekerjanya” ajak Udin. Ibu menatapnya dengan tatapan haru sembari
menahan tangis dan mengelus wajah anaknya tersebut, “Terimakasih nak, (duduk
dikursi) ayok kita makan bareng” ucap ibu.
“Udin,
mamah kerja dulu ya! Jangan lupa kunci semua pintu sebelum kamu pergi untuk
menjual kayu” seru ibu dari depan rumah, Udin pun menjawab dengan berteriak
“Iya mah!”. Udin mengunci semua pintu dan bergegas mengantar kayu menuju
Sekolah Dasar Negeri 9 Purwakarta untuk diberikan kepada pedagang surabi. Dia
melihat banyak pelajar mengenakan seragam, dia tidak bisa bersekolah karena
masalah ekonomi, walaupun sekolah negeri sudah digratiskan oleh negara.
Sesampainya ditempat, dia langsung memberikan kayu kepada pedagang surabi, dia
hanya mendapatkan uang Rp10.000 saja dari usaha dia memotong kayu sangat
banyak. “Pak, saya mau ikut menjual surabi boleh?” tanya Udin. “Oh ya, tentu
saja! Sebentar lagi sekolah masuk, kamu layanin yang mau beli ya, biar bapak
fokus membuat surabi” jawab pedagang surabi. Udin yang mendengar itu langsung
bersemangat, dan mulai melayani pembeli.
Lelah
yang dirasa tidak menjadi hambatan bagi Udin, dengan ikut berjualan dia melatih
kemampuan berhitungnya. Sebenarnya sangat besar keinginan Udin untuk bisa
bersekolah, tetapi faktor ekonomi menghambatnya, walaupun dia bisa saja
bersekolah dengan gratis tetapi dia tidak akan mampu membeli seragam beserta
alat tulis sekolah. Yadi, pedagang surabi yang menjadi langganan kayu dari Udin
selalu merasa kasihan sehingga ia selalu membeli kayu dan memperkerjakan Udin
agar bisa membantu ekonomi keluarganya. Dunia pendidikan memang sangat mahal di
negeri ini, sekolah gratis hanya sebuah embel-embel pemanis politik.
Tepat
pukul 10 pagi adalah waktunya untuk siswa-siswi SDN 9 Purwakarta pulang, disaat
inilah biasanya banyak siswa-siswi yang akan jajan sehingga Udin mengeluarkan
segala energinya untuk melayani. Uang selembaran Rp2000, Rp5000, dan Rp10.000
banyak ia dapatkan dari hasil membantu pak Yadi berjualan. Ketika hendak pulang,
pak Yadi memberikan uang Rp20.000 kepada Udin dan ditambah Rp10.000 untuk uang
tabungan Udin. Ya, Udin menabung untuk sesuatu hal yang besar baginya.
Sesampainya
di Rumah, Udin melepas penat dengan berbaring diatas kasur yang keras sebelum
kembali mencari kayu pada sore hari untuk dia potong keesokan harinya. “hari
ini aku dapet empat puluh ribu, tiga puluh ribu aku tabung, sepuluh ribu aku
berikan kepada mamah untuk membeli bahan makanan” pikir Udin hingga tidak terasa
dia tertidur. “Allahu akbar, Allahu akbar
…” suara adzan dzuhur terdengar, Udin bergegas berangkat ke Masjid.
Ketika
hendak berangkat ke Masjid, Udin melihat ibunya tertidur dan tampak sangat
lelah. Udin pun menyempatkan untuk mencium kening ibunya dan memeluknya lembut,
“mah, Udin berangkat ke masjid dulu ya. Selamat tidur mah” ucap lembut Udin.
“Assalamualaikum
pak ustadz!” teriak Udin didepan masjid memanggil guru mengajinya, Pak Yana.
“Waalaikumsalam warahmatullahhi wabarakatuh, Udin. Semangat banget nih, ayok
ambil wudhu sebentar lagi shalat dimulai” seru Pak Yana dijawab dengan anggukan
oleh Udin.
Seusai
shalat, Udin melanjutkan dengan sekolah agama yang diisi dengan mengaji dan
ceramah. Walaupun Udin tidak dapat bersekolah formal, tetapi baginya ilmu agama
harus tetap dia dapat. Baginya ilmu agama adalah segala sesuatu yang jauh lebih
penting dibanding ilmu duniawi. “pak ustadz, sekarang ceramah apa?” tanya salah
seorang teman Udin. “nah sekarang bapak mau ceramah soal kematian ya,
anak-anak. Jadi didengar baik-baik nih” jawab pak Yana.
Udin
mendengarkan seluruh ceramah pak Yana dengan serius, dia masih sangat bingung
dengan apa itu kematian. Seusai ceramah, pak Yana membuka sesi tanya jawab dan
Udin langsung mengacungkan tangan. “Pak, kan kalau orang meninggal maka akan
berpindah ke alam barzakh. Apakah ayah saya juga disana? Bagaimana saya bisa tahu
keadaan ayah saya disana? Saya sangat merindukan dan ingin bisa bertemu dengan
ayah saya, walaupun hanya sekejap”. Mendengar pertanyaan polos dari bocah
berumur 7 tahun itu, pak Yana hanya bisa diam dan mengeluarkan air mata. Beliau
sangat terharu dan sedih melihat Udin yang tidak lagi mempunyai seorang ayah
sejak lahir tetapi memiliki semangat hidup yang tinggi dan mempunyai keinginan
yang besar untuk bertemu ayahnya.
“pak,
jawab pak” bujuk Udin kepada pak Yana. Kemudian pak Yana mengambil nafas
panjang sebelum menjawab. “Udin, jika kamu mau ayah kamu tenang di alam sana,
dan ingin ayah kamu selamat di alam sana. Perbanyak kirim doa kepada ayahmu,
kirim doa kapan saja saat kamu bisa terlebih seusai shalat. Jadilah anak yang
berbakti dan berguna, kelak kamu dan ibumu akan bertemu ayahmu di surga sana”
mendengar jawaban itu Udin akhirnya mengerti kenapa ibunya selalu marah ketika
dia berkeras kepala untuk bertemu ayahnya. Tiba-tiba Udin berdiri dan berlari
menuju Rumahnya, pak Yana dan teman-teman Udin hanya diam menatapnya karena
bingung apa yang terjadi kepada Udin.
“Maahh!!
Maahh!!!” teriak Udin dari luar Rumah, ibunya yang baru saja terbangun dari
tidur langsung menemui Udin. “ada apa nak?” tanya ibu. “maafin Udin, Udin
ngerti kenapa ayah gak akan bisa datang. Udin minta maaf udah membangkang dari
nasihat mamah. Udin janji gak akan gitu lagi” ucap Udin sembari menangis.
“Pokoknya udin akan rajin menabung untuk bisa memberangkatkan mamah naik haji.
mamah yang sehat terus ya! Jangan tinggalin Udin sendirian” lanjutnya.
Mendengar semua itu, sang ibu hanya bisa menangis dan mengusap rambut anaknya.
20
tahun berlalu, Udin yang kini berumur 27 tahun sudah menjadi seorang pengajar
mengaji di masjid dekat rumahnya dan membangun rumah tangga yang sederhana
bersama seorang anak lelakinya. Dia juga sudah bisa memberangkatkan ibunya ke
tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, walaupun ibunya kini sudah hampir
berumur 57 tahun.
Sebuah
surat berisi puisi dan potongan kayu berbentuk pesawat yang dibuat olehnya saat
umur 7 tahun dipajang disudut rumahnya. Isi puisi tersebut
Potongan Kayu untuk Bahagiakan Ibu
Tuhan menciptakan lautan yang luas
Sebagai sumber kehidupan
Tuhan menciptakan sang surya
Untuk menghangatkan bumi dan isinya
Laksana bintang yang bersinar
bersinar yang menerangi kegelapan
Ibu,
Tak ada yang mampu ku persembahkan
padamu
Melainkan sebuah potongan kayu
Potongan kayu sebagai harapan aku
bisa membahagiakanmu
--------------------------------------------
Penulis : Richie Imani
Kontak :
Twitter @richie_imani
Line richie_imani
Angkatan : SMANSA'18
Kelas : XI IPA 5
--------------------------------------------
Mau hasil karya kamu dipost oleh Mago? gampang! kirimkan hasil karya kamu ke email unomagz@gmail.com